KARAKTERISTIK KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM DAN PSIKOLOGI HUKUM
 
Oleh : Musakkir
 

Pendekatan sosiologi hukum terhadap putusan hakim akan bermuara pada putusan hakim yang telah memenuhi rasa keadilan warga masyarakat, dapat memulihkan hubungan sosial antara pihak yang bersengketa dan dapat memberi kemanfaatan. Selanjutnya pendekatan psikologi hukum terhadap putusan hakim bermuara pada putusan hakim yang dapat memberi rasa aman dan tenteram, rasa damai dan rasa puas bagi para pihak yang bersengketa.

1. Kajian Sosiologi Hukum

Untuk memahami karakteristik kajian sosiologi hukum, maka berikut ini akan dikemukakan berbagai pandangan dari para pakar sosiologi maupun sosiologi hukum. Antara lain Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, (Soerdjono Soekanto, 1985: 110) menyatakan “Ilmu masyarakat atau sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan-perubahan sosial”.

Menurut Achmad Ali (1998: 11):

“….sosiologi hukum menekankan kajian pada law in action, hukum dalam kenyataannya, hukum sebagai tingkah laku manusia, yang berarti berada di dunia sein. Sosiologi hukum menggunakan pendekatan empiris yang bersifat deskriptif…”.

 

Sosiologi hukum sebagai cabang ilmu yang berdiri sendiri merupakan ilmu sosial, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari kehidupan bersama manusia dengan sesamanya, yaitu pergaulan hidup, dengan kata lain sosiologi hukum mempelajari masyarakat khususnya gejala hukum dari masyarakat tersebut.

Karakteristik kajian atau studi hukum secara sosiologis menurut Satjipto Rahardjo (1986: 310-311), yaitu:

1.     Sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari fenomena hukum yang bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktik-praktik hukum. Sosiologi hukum menjelaskan mengapa dan bagaimana praktik-praktik hukum itu terjadi, sebab-sebabnya, faktor-faktor yang berpengaruh, latar belakang dan sebagainya.

2.     Sosiologi hukum senantiasa menguji kesahihan empiris (empirical validity)  dari suatu peraturan atau pernyataan hukum. Bagaimana kenyataannya peraturan itu, apakah sesuai dengan bunyi atau teks dari peraturan itu.

3.     Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum. Tingkah laku yang menaati hukum dan yang menyimpang dari hukum sama-sama merupakan objek pengamatan yang setaraf. Sosiologi hukum tidak menilai antara satu dengan yang lain, perhatian yang utama dari sosiologi hukum hanyalah pada memberikan penjelasan atau gambaran terhadap objek yang dipelajarinya.

Selanjutnya Satjipto Rahardjo (1979: 19) menambahkan bahwa untuk memahami permasalahan yang dikemukakan dalam kitab ujian ini dengan seksama, orang hanya dapat melakukan melalui pemanfaatan teori sosial mengenai hukum. Teori ini bertujuan untuk memberikan penjelasan mengenai hukum dengan mengarahkan pengkajiannya keluar dari sistem hukum. Kehadiran hukum di tengah-tengah masyarakat, baik itu menyangkut soal penyusunan sistemnya, memilih konsep-konsep serta pengertian-pengertian, menentukan subjek-subjek yang diaturnya, maupun soal bekerjanya dengan tertib sosial yang lebih luas. Apabila disini boleh dipakai istilah ‘sebab-sebab sosial’, maka sebab-sebab yang demikian itu hendak ditemukan baik dalam kekuatan-kekuatan budaya, politik, ekonomi atau sebab-sebab sosial yang lain.

Menurut pendapat Max Weber (Gerald Turkel, 1996: 10):

“…these three approaches are (1) a moral approach to law, (2) an approach from standpoint of jurisprudence, and (3) a sociologycal approach to law. Each of these approaches has a distinct focus on the relations among law and society and ways in which law should be studied”.

 

Pendekatan moral terhadap hukum menegaskan bahwa hukum adalah berakar pada kepercayaan-kepercayaan tentang karakter alami manusia (the nature of human being) dan juga berdasarkan pada kepercayaan tentang apa yang benar dan apa yang tidak benar. Perhatian terhadap hukum adalah terfokus pada tuntutan bahwa hukum harus mengekspresikan suatu moralitas umum (a common morality) yang didasarkan pada suatu konsensus tentang apa yang secara moral dianggap salah dan benar.

Pendekatan ilmu hukum berpandangan bahwa hukum seharusnya otonom. Selanjutnya legitimasi dari pendekatan hukum seharusnya bersandar pada kapasitasnya untuk membangkitkan suatu perangkat hukum yang bertalian secara logis (kohern) yang dapat diaplikasikan baik terhadap tindakan-tindakan individual ataupun terhadap kasus-kasus, yang dapat menimbulkan hal yang bersifat ambiguitas (bermakna ganda).

Baik pada pendekatan moral terhadap hukum maupun pendekatan ilmu hukum terhadap hukum, keduanya mempunyai kaitan dengan bagaimana norma-norma hukum membuat tindakan-tindakan bermakna dan tertib. Pendekatan moral mencakupi hukum dalam suatu arti yang mempunyai makna luas melalui pertalian konstruksi hukum dan kepercayaan-kepercayaan serta asas yang mendasarinya dijadikan sebagai sumber hukum.

Pendekatan ilmu hukum mencoba untuk menentukan konsep-konsep hukum dan hubungannya yang independen dengan asas-asas dan nilai-nilai non hukum. Kedua pendekatan ini meskipun memiliki perbedaan meskipun keduanya memfokuskan secara besar pada kandungan dan makna hukumnya.

Pendekatan sosiologi hukum juga mengenai hubungan hukum dengan moral dan logika internal hukum. Fokus utama pendekatan sosiologi hukum menurut Gerald Turkel (Achmad Ali, 1998: 34) adalah:

“1. Pengaruh Hukum terhadap perilaku sosial.

 2. Pada kepercayaan-kepercayaan yang dianut oleh masyarakat dalam “the sosial world” mereka.

Pada organisasi sosial dan perkembangan sosial serta pranata    

hukum.
Tentang bagaimana hukum itu dibuat.
Tentang kondisi-kondisi sosial yang menimbulkan hukum”.
 

Apabila kita membuat konstruksi hukum dan membuat kebijakan-kebijakan untuk merealisir tujuan-tujuannya, maka merupakan suatu hal yang esensial bahwa kita mempunyai pengetahuan empiris tentang akibat yang dapat ditimbulkan dengan berlakunya undang-undang atau kebijakan-kebijakan tertentu terhadap perilaku masyarakat. Sesuai dengan pendekatan sosiologis harus dipelajari undang-undang dan hukum itu, tidak hanya berkaitan dengan maksud dan tujuan moral etikanya dan juga tidak hanya yang berkaitan dengan substansinya, akan tetapi yang harus kita pelajari adalah yang berkaitan dengan bagaimana undang-undang itu diterapkan dalam praktik.

Curzon (1979: 139) menjelaskan:

 “The term ‘legal sociology’ has been used in some texts to refer to a spesific study of situations in which the rules of law operate, and of behavior resulting from the operation of those rules”.

 

Kajian terhadap hukum dapat dibedakan ke dalam beberapa pandangan di antaranya bahwa selain kajian sosiologi hukum terdapat pula kajian normatif dan kajian filosofis. Jika dalam kajian empiris sosiologis memandang hukum sebagai kenyataan, mencakup kenyataan sosial, kultur dan hal-hal empiris lainnya, maka kajian normatif memandang hukum dalam wujudnya sebagai kaidah, yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Kajian normatif menekankan kajian pada law in books, hukum sebagaimana mestinya, olehnya itu berada dalam dunia sollen. Di samping itu, juga kajian normatif pada umumnya bersifat preskriptif, yaitu sifat yang menentukan apa yang salah dan apa yang benar. Kajian normatif terhadap hukum antara lain ilmu hukum pidana positif, ilmu hukum perdata positif, ilmu hukum tata negara, dan lain-lain.

Selanjutnya yang menjadi obyek utama kajian sosiologi hukum sebagaimana dikemukakan oleh Achmad Ali (1998: 19-32), sebagai berikut:

1.     Menurut istilah Donald Black (1976: 2-4) dalam mengkaji hukum sebagai Government Social Control, sosiologi hukum mengkaji hukum sebagai perangkat kaidah khusus yang berlaku serta dibutuhkan guna menegakkan ketertiban dalam suatu kehidupan masyarakat. Hukum dipandang sebagai rujukan yang akan digunakan oleh pemerintah dalam hal, melakukan pengendalian terhadap perilaku warga masyarakat.

2.     Persoalan pengendalian sosial tersebut oleh sosiologi hukum dikaji dalam kaitannya dengan sosialisasi yaitu proses dalam pembentukan masyarakat. Sebagai makhluk sosial yang menyadari eksistensi sebagai kaidah sosial yang ada dalam masyarakatnya, yang meliputi kaidah moral, agama, dan kaidah sosial lainnya. Dengan kesadaran tersebut diharapkan warga masyarakat menaatinya, berkaitan dengan itu maka tampaklah bahwa sosiologi hukum, cenderung memandang sosialisasi sebagai suatu proses yang mendahului dan menjadi pra kondisi sehingga memungkinkan pengendalian sosial dilaksanakan secara efektif.

3.     Obyek utama sosiologi hukum lainnya adalah stratifikasi. Stratifikasi sebagai obyek yang membahas sosiologi hukum bukanalah stratifikasi hukum seperti yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dengan teori grundnormnya, melainkan stratifikasi yang dikemukakan dalam suatu sistem kemasyarakatan. Dalam hal ini dapat dibahas bagaimana dampak adanya strstifikasi sosial terhadap hukum dan pelaksana hukum.

4.     Obyek utama lain dari kajian sosiologi hukum adalah pembahasan tentang perubahan, dalam hal ini mencakup perubahan hukum dan perubahan masyarakat serta hubungan timbal balik di antara keduanya. Salah satu persepsi penting dalam kajian sosiologi hukum adalah bahwa perubahan yang terjadi dalam masayarakat dapat direkayasa, dalam arti direncanakan terlebih dahulu oleh pemerintah dengan menggunakan perangkat hukum sebagai alatnya.

Berdasarkan fenomena yang telah diuraikan di atas maka lahirlah konsep law as a tool of social engineering yang berati bahwa hukum sebagai alat untuk mengubah secara sadar masyarakat atau hukum sebagai alat rekayasa sosial. Oleh karena itu, dalam upaya menggunakan hukum sebagai alat rekayasa sosial diupayakan pengoptimalan efektifitas hukumpun menjadi salah satu topik bahasan sosiologi hukum (Achmad Ali, 1998: 98-103).

Jadi fungsi hukum itu pasif, yaitu mempertahankan status quo sebagai a tool of social control, sebaliknya hukum pun dapat berfungsi aktif sebagai a tool of social engineering. Oleh karena itu, penggunaan hukum sebagai alat rekayasa sosial didominasi oleh kekuasaan negara. Apabila kajian sosiologi hukum tentang bagaimana fungsi hukum, sebagai alat pengendalian sosial lebih banyak mengacu pada konsep-konsep antropologis, sebaliknya kajian sosiologi hukum tentang fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial lebih banyak mengacu pada konsep ilmu politik dan pemerintah.

Roscoe Pound sebagai pencetus konsep law as o tool of social engereering,  memandang bahwa problem utama yang menjadi perhatian utama bagi para sosiolog hukum adalah untuk memungkinkan dan untuk mendorong pembuatan hukum, dan juga menafsirkan dan menerapkan aturan-aturan hukum, serta untuk membuat lebih berharganya fakta-fakta sosial di mana hukum harus berjalan dan di mana hukum itu diterapkan (Achmad Ali, 1998: 14). Roscoe Pound memang harus diakui sebagai kekuatan pemikiran baru yang mencoba mengonsepsikan ulang bagaimana hukum dan fungsi hukum harus dipahami. Roscoe Pound merupakan ilmuan hukum yang terbilang orang pertama yang berani menganjurkan agar ilmu pengetahuan sosial didayagunakan demi kemajuan teori-teori yang diperbaharui dan dibangun dalam ilmu hukum (Soetandyo Wignjosoebroto, 2002: 71).

Selanjutnya karakteristik dan kegunaan sosiologi hukum, menurut Vilhelm Aubert (1969: 10-11), yaitu:

“Sosiology of law is here viewed as a branch of general sosiology, just like family sosiology, industrial or medical soiology. It should not be overlooked, however, that sosiology legitimately may also be viewed as auxiliary of legal studies, an aid in executing the tasks of the legal profession. Sosiological analyses of phenomena which are regulated by law, may aid legislators or even the courts in making decisions. Quite important is the critical function of sociology of law, as an aid in enhancing the legal profession’s awareness of its own function in society. …Sosiology is concerned with values, with the preferences and evaluations that underlie basic structural arrgements in a society”.

 

Sosiologi hukum memperkenalkan banyak faktor-faktor non hukum yang mempengaruhi perilaku hukum tentang bagaimana mereka membentuk dan melaksanakan hukum. Dalam hal ini sosiologi hukum menekankan pada penerapan hukum secara wajar atau patut, yaitu memahami aturan hukum sebagai penuntun umum bagi hakim, yang menuntun hakim menghasilkan putusan yang adil, di mana hakim diberi kebebasan dalam menjatuhkan putusan terhadap setiap kasus yang diajukan kepadanya, sehingga hakim dapat menyelaraskan antara kebutuhan keadilan antara para pihak atau terdakwa dengan alasan umum dari warga masyarakat.

Menurut Baumgartner (Dennis Patterson, 1999: 406):

“Sociology is the scientific study of social life, and the sociology of law is accordingly the scientific study of legal behavior. Its mission is to predict and explain legal variation of every kind, including variation in what is defined as illegal, how cases enter legal system, and how cases are resolved”.

 

Sosiologi hukum adalah kajian ilmiah tentang kehidupan sosial. Salah satu misi sosiologi hukum adalah memprediksi dan menjelaskan berbagai fenomena hukum, antara lain bagaimana suatu kasus memasuki sistem hukum, dan bagaimana penyelesaiannya. Sosiologi hukum menggunakan fakta-fakta tentang lingkungan sosial di mana hukum itu berlaku. Kajian ini bekerja untuk menemukan prinsip-prinsip sosial yang mengatur bagaimana hukum bekerja secara konrit di dalam praktik. Sekalipun demikian, sosiologi hukum tidak memberikan penilaian terhadap fakta-fakta hukum yang ada akan tetapi menjelaskan bagaimana fakta-fakta hukum itu sesungguhnya terjadi dan apa penyebabnya. Sebagaimana penegasan Baumgartner (Dennis Patterson, 1999: 414):

“As a scientific enterprise, the sociology of law is not in a potition to pass judgment on the facts it uncovers. Those facts, however, often possess great moral relevance for participants and critics of a legal system”.

  

Pandangan sosiologi hukum pada dasarnya adalah hukum hanya salah satu dari banyak sistem sosial dan sistem-sistem sosial lain yang juga ada di dalam masyarakatlah yang banyak memberi arti dan pengaruh terhadap hukum. Dengan menggunakan pandangan yang sosiologis terhadap hukum, maka akan menghilangkan kecenderungan untuk selalu mengidentikkan hukum sebagai undang-undang belaka, seperti yang dianut oleh kalangan positivis atau legalistik.

Titik tolak sosiologi hukum sebagaimana dinyatakan oleh Lawrence M. Friedman (1975: vii), beranjak dari asumsi dasar:

“The people who make, apply, or use the law are human beings. Their behavior is social behavior. Yet, the study of law has proceeded in relative isolation from other studies sciences”.

 

Asumsi dasar yang menganggap bahwa orang yang membuat, menerapkan dan menggunakan hukum adalah manusia. Perilaku mereka adalah perilaku sosial. Inilah yang perlu dipahami bahwa hukum bertujuan untuk manusia dan bukan hukum bertujuan untuk hukum.

Dalam kajian sosiologi hukum, eksistensi pengadilan tidak mungkin netral atau otonom. Bagaimanapun setiap pengadilan yang berada pada suatu negara, sangat wajar jika memiliki keberpihakan pada ideologi dan “political will” negaranya. Oleh karenanya, adalah tidak aneh bagi sosiologi hukum jika pengadilan menjadi ”älat politik”, sebagaimana yang dinyatakan oleh Curzon (1979: 19):

“…the core of political jurisprudence is a vision of the courts as political agencies and judges as political actors…”

Oleh karena itu, sosiologi hukum bukanlah sosiologi ditambah hukum, sehingga pakar sosiologi hukum adalah seorang juris dan bukan seorang sosiolog. Tidak lain karena seorang sosiolog hukum pertama-tama harus mampu membaca, mengenal dan memahami, berbagai fenomena hukum sebagai objek kajiannya. Setelah itu, ia tidak menggunakan pendekatan ilmu hukum (dogmatik) untuk mengkaji dan menganalisis fenomena hukum tadi, melainkan ia melepaskan diri ke luar dan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial (Achmad Ali, 1998: 18).

 
2.     Kajian Psikologi Hukum

Di dalam penelitian ini digunakan kajian empiris yang objeknya adalah fenomena hukum, yaitu kajian yang memandang hukum sebagai kenyataan, meliputi kenyataan sosial, kultur dan lain-lain. Dengan perkataan lain, kajian empiris adalah mengkaji law in action (das Sein), pendekatannya adalah bersifat deskriptif. Kajian ilmu hukum yang empiris antara lain Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum, Perbandingan Hukum, Sejarah Hukum, Hukum dan Masyarakat, dan Psikologi Hukum.

Psikologi hukum dapatlah dikatakan menyoroti hukum sebagai salah satu perwujudan dari perkembangan jiwa manusia. Ilmu ini mempelajari atau mengkaji perlaku hukum, yang mungkin merupakan perwujudan dari gejala-gejala kejiwaan tertentu, dan juga landasan kejiwaan dari perilaku atau sikap tindak tersebut (Soerjono Soekanto, 1993: 1-2).

Lebih spesifik lagi karakteristik dari pendekatan psikologi terhadap hukum, sebagaimana dinyatakan oleh Lawrence Wrightsman (1991: :

“…psychological approach to the law emphasizes the human determinants of the law. So do sociology and anthropology – but the focus in the psychological approach is on individual as the unit analysis. Individuals are seen as responsible for their own conduct and as contributing to its causation. Psychology looks at the impact of the police officer, the victim, the juror, the lawyer, the judge, the defendant, the prison guard, and the parole officer on the legal system. Psychology assumes that the characteristics of these participants in the legal system effect how the system operates. In “characteristics”, include these persons’ abilities, their perspectives, their values, their experience – all the factors that influence theis behavior”.

 

Kajian psikologi hukum menekankan kepada faktor psikologis yang mempengaruhi perilaku individu ataupun kelompok dalam segala tindakannya di bidang hukum. Misalnya, bagaimana sikap atau perilaku polisi dalam menjalankan tugasnya untuk mencegah dan mengatasi terjadinya pelanggaran dan kejahatan? Bagaimana perilaku jaksa di dalam melakukan penyidikan, penahanan, dan penuntutan terhadap tersangka? Bagaimana perilaku atau sikap hakim di dalam memeriksa, mengadili dan menjatuhkan putusan. Kondisi psikologis hakim dapat memberikan pengaruh kepada putusannya, maupun terhadap tindakan aktor-aktor atau penegak hukum lainnya.

Menurut Craig Haney (Curt Bartol, 1983: 20-22), bahwa hubungan psikologi dan hukum dapat dilihat dengan tiga metode, yaitu :

“psychology can relate to law in three ways: psychology in the law, psychology and the law, and psychology o the law”.…the psychology in the law relationship is the most frequent application of psychology to the legal system. In this situation, jurits use psychologists and their knowlegde for spesific cases, as by having them testify about a defendant’s mental condition or consult with attorneys regarding jury selection. …. psychology and the law, neither psychology nor law dominates or dictates to the other. …. psychology of the law, concerns itself with law as a determinant of behavior”.

 

Craig Haney menjelaskan setiap keterkaitan-keterkaitan psikologi dengan undang-undang. Hubungan psikologi dalam undang-undang (psychology in the law) merupakan aplikasi psikologi yang paling sering tampak terhadap sistem hukum. Dalam situasi seperti ini, para juris menggunakan para psikolog dan pengetahuan mereka untuk kasus-kasus spesifik, seperti dengan menyuruh mereka memberikan kesaksian tentang kondisi mental seorang terdakwa atau berkonsultasi dengan para lawyer tentang seleksi juri (dalam sistem peradilan di negara Anglo Saxon). 

Hubungan psikologi dan undang-undang (psychology and the law), psikologi dipandang sebagai disiplin terpisah yang menganalisis dena menyelidiki sistem hukum dari suatu persfektif psikologi dan mengembangkan riset dan teori psikologi. Dengan kajian-kajian yang dirancang dengan baik dan perumusan teori untuk menyatukan eksperimen-eksperimen, psikologi dapat mengembangkan suatu kumpulan pengetahuan psikologi yang relevan dengan sistem hukum. Apakah banyak asumsi hukum tentang perilaku manusia didukung secara empiris? Dapatkah psikologi ruang sidang/pengadilan yang digunakan oleh para lawyer didukung oleh prinsip-prinsip psikologi yang diperoleh melalui kajian ilmiah yang cermat, dirancang dengan baik? Apakah para saksi mata yang begitu serius diandalkan oleh sistem peradilan dalam pemberian vonis terhadap para terdakwa secara umum akurat dalam persepsi-persepsi dan ingatan-ingatan mereka tentang peristiwa-peristiwa yang mengelilingi kejahatan? Di dalam hubungan psikologi dan hukum, psikologi berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ini.

Jika jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas, tidak memberikan hasil yang logis dan ilmiah maka warga masyarakat melakukan tuntutan perubahan terhadap sistem peradilan. Kondisi seperti ini telah dinyatakan oleh Craig Haney (Curt R. Bartol, 1983: 21-22):

“If the results are negative, at the legal system chooses not to change its procedures and thinking in the direction of the scientific evidence, then educated members of society concerned about the ocean of psychological fiction in the judicial system may demand the change. Thus, psychology can be use to change legal doctrine as well as to alter the system n which law is developed and administered”.

 

Jadi, psikologi dapat digunakan untuk mengubah doktrin hukum dan juga menggati sistem yang di dalamnya hukum dikembangkan dan ditangani. Selanjutnya pada sisi yang lain psikologi tentang undang-undang, menaruh perhatian pada hukum sebagai determinan perilaku.

Kemudian hubungan psikologi tentang undang-undang (psychology of the law), menaruh perhatian pada hukum sebagai determinan perilaku. Bagaimana undang-undang (hukum) mempengaruhi masyarakat dan bagaimana masyarakat mempengaruhi undang-undang? Psikologi tentang hukum mengkaji ketidakadilan-ketidakadilan sosial dan berusaha untuk memahami mengapa masyarakat membiarkan fiksi-fiksi atau dugaan-dugaan hukum untuk berkembang dan mengapa masyarakat mengizinkan kebijakan-kebijakan yang dianggap berbahaya atau menimbulkan bencana untuk berlanjut ada.

Michael J. Saks and Reid Hastie (1978: 39), menjelaskan tentang perilaku hakim yang dapat mempengaruhi tuntutan jaksa, seperti yang digambarkan dalam hasil penelitiannya, yaitu:

“Because the judge’s decisions effect a prosecutor’s conviction rate, and replect on the police officer’s arrest record. These system actors will either anticipate or rapidly respons to the judge’s altered behavior”.

 

Secara sepintas terlihat bahwa kajian psikologi hukum seolah-olah merupakan bagian dari kajian sosiologi hukum, tetapi dilihat dari objek kajiannya, maka tampak adanya perbedaan antara keduanya. Namun demikian, ada juga sebagian pakar yang menempatkan psikologi hukum sebagai bagian dari psikologi sosial. Terlepas dari perbedaan itu, yang penting diketahui adalah karakteristik kajian psikologi hukum itu yang berbeda dengan pendekatan atau kajian empiris lainnya. Jadi, hubungan psikologi dan hukum merupakan suatu mitra yang setara di dalam melakukan analisis terhadap sistem peradilan, terutama dalam melakukan riset tentang kebijakan-kebijakan hakim, penetapan hakim, dan putusan hakim.

Pendekatan psikologi hukum juga digambarkan oleh Satjipto Rahardjo (Kompas.com: 1997), hukum itu perlu dipahami dalam konteks perilaku, hukum itu terjabarkan dalam perilaku anggota masyarakat, baik para penegak hukum maupun rakyat biasa. Itulah sebabnya Oliver Wonder Holmes menyatakan bahwa hukum itu bukan logika tetapi pengalaman (The life of the law was not been logic, but experience). Orang terkadang mengumpamakan hukum itu sebagai sebuah gerobak yang dapat dimuati berbagai barang. Artinya tidak hanya satu jenis barang yang dapat dimuat di situ, tetapi hukum dapat dimuati berbagai macam kepentingan, sesuai dengan pihak-pihak yang berkepentingan tersebut. Dengan demikian, peraturan yang kelihatannya “tidak punya salah” itu, dalam pelaksanaan atau penegakannya ternyata dilakukan dengan memasukkan kepentingan-kepentingan dari mereka yang terlibat.

Lebih lanjut Satjipto Rahardjo (Kompas.com, 1997) menyatakan bahwa kalau hukum sudah tampil dalam bentuk perilaku, maka untuk memahaminya dibutuhkan kajian dari berbagai bidang disiplin ilmu, seperti politik, psikologi, bahkan sastera. Sebagai contoh tentang masukan perilaku ke dalam sistem hukum. Kita telah menyaksikan bahwa selama lima puluh Tahun lebih kehidupan ketatanegaraan bangsa Indonesia hampir sepenuhnya diatur oleh UUD 1945. Kendatipun menggunakan UUD yang tetap sama itu kita telah mengalami praksis yang berbeda-beda, seperti munculnya periodesasi orde lama dan orde baru. Perbedaan itu hanya dapat dijelaskan dari perilaku kenegaraan bangsa kita, tidak dari segi hukum ketatanegaraan. Perilaku para pelaku yang telah memasukkan muatan ideologi dan lain-lain kepentingan yang berbeda-beda ke dalam UUD tersebut, telah memunculkan karakter yang berbeda-beda pada kedua orde tersebut.

Demikian pula para aktor yang terlibat di dalam proses persidangan di pengadilan, baik hakim, jaksa, pengacara, maupun para klien (pencari keadilan), kesemuanya mempunyai karakter yang berbeda-beda tergantung pada proses sosialisasi yang mereka lalui. Oleh karena itu, Michael J. Saks dan Reid Hastie (1978: 205) menyatakan:

“…the various actors who come together in and around courts are inseparable from their membership in a social system. Apart from their social system, the individual components become stripped of their meaning and without function”.

 

            Perilaku yang berbeda dari para aktor yang terlibat di dalam proses peradilan, tidak memungkinkan lahirnya suatu putusan yang netral. Untuk memahami perilaku dari setiap aktor hukum itu, maka disinilah pentingnya pendekatan psikologi hukum.

 
 

Marilah kita belajar menjadi orang bijak, karena orang yang bijak akan menjadi teman atau kawan oleh banyak orang. Sebaliknya bilamana kita tidak bijak maka banyak orang akan menjadi musuh kita. Tentu saja kita selalu bijak digaris kebenaran dan kejujuran.
 
Today, there have been 1 visitors (1 hits) on this page!
This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free